Filsafat hukum di zaman ini
berdasarkan rasionalitas pemikiran manusia dan empirisme. Selain itu,
kedaulatan berada ditangan rakyat dan nilai manusia pribadi diakui sebagai
subjek hukum. Hal ini membuka zaman baru yang dapat melahirkan aspirasi
revolusi Prancis pada tahun 1789. Para filsuf yang dikenal di zaman modern,
diungkapkan secara berturut-turut sebagai berikut.
Rudolf von Jhering (1818)
menolak teori Hegel. Hegel mengungkapkan bahwa hukum adalah ekspresi dari
kemauan umum (general will) dan tidak mampu melihat bahwa faktor-faktor
utilitaritas dan kepentingan-kepentingan menentukan eksistensi hukum. Selain
itu, Rudolf von Jhering juga menolak anggapan bahwa hukum adalah ekspresi
spontan dari kekuatan bawah sadar seperti yang diungkapkan oleh von Savigny. Ia
juga menolak pendapat van Savigny yang mengabaikan perjuangan secara sadar
untuk melindungi kepentingan warga masyarakat. Oleh karena itu, Rudolf von
Jhering manganut orientasi kultur yang luas. Kontribusi Jhering adalah
keyakinannya (penekanannya) bahwa fenomena hukum tidak dapat dipahami tanpa
pemahaman sitematik terhadap tujuan hukum yang berakar dalam kehidupan sosial.
Tanpa pemahaman dimaksud, tidak akan mungkin ada aturan-aturan hukum.
Tidak ada tujuan berarti tidak
ada kemauan. Berdasarkan pernyataan itu, Rudolf vo Jhering bercirikan aliran
filsafat hukum yang biasa disebut positivism. Sebab, ia mendefinisikan hukum
sebagai sejumlah aturan yang memaksa berlaku dalam suatu negara. Selai itu Rudolf Von Jhering juga mempunyai pendapat yang bercirikan aliran
sociological dan “hukum bebas”.
Herman Kantorowitz sebagaimana yang dikutip oleh Lili
Rasyidi, menyatakan bahwa Jhering tidak cukup memberikan perhatian pada konflik
kepentingan belakang perundang-undangan (kaidah-kaidah hukum); hukum
merefleksikan (mencerminkan) kepentingan-kepentingan dominan. Philip
Heck adalah salah seoarang eksponen utama “kelompok penekan” mengemukakan bahwa
gerakan interses Jurisprudence yang baru didasarkan pada kesadaran bahwa hakim
tidak dapat menangani kebutuhan kebutuhan hidup yang hanya melalui konstruksi
logika untuk hasil yang memuaskan.
Gerakan “hukum bebas” (free law) memperkuat sentiment ini
dengan menyatakan “logika hukum” (legal
logica) dan ilmu hukum tentang konsepsi adalah tidak kuat untuk
menghasilkan keputusan-keputusan yang praktis, melainkan hakim tidak hanya
sering terpaksa melampaui undang-undang, tetapi sering harus melampauinya.
Karena, di zaman ini para filsuf memusatkan perhatiannya pada penggarapan
tarhadap landasan dari kebijakan hukum (politik hukum) yang lebih mendetail.
Eugen Erich (1862-1922) adalah
seorang teoritis free law mengungkapkan bahwa pusat dari bobot perkembangan
hukum tidak terletak dalam legalitas dan keputusan yudisial, tetapi dalam
masyarakat itu sendiri. Menurutnya, di dalam masyarakat dalam proposisi hukum.
Lain halnya Hans Kalsen yang
terpengaruh oleh epistimelogi Neo Kantian, salah seorang eksponen utama
positivism yang dianggap sebagai tokoh yang paling kontroversial dan mungkin
paling berpengaruh secara tajam yang membedakan antara yang ada dan yang
seharusnya ada. Ia secara konsekuen membedakan antara ilmu alam dan disiplin
ilmu lainnya, seperti ilmu hukum yang mempelajari fenomena normatif.
Gustav Radbruch (1878-1949)
yang tidak membentuk satu aliran filsafat hukum. Namun, tampak pemikirannya
mempunyai banyak kesamaan dengan pandangan Hans Kalsen. Gustav Radbruch
berpendapat bahwa hukummerupakan suatu gejala kultural yang dapat dipahami
melalui hubungan pada nilai-nilai yang diperjuangkan manusia untuk
diwujudkannya melalui hukum. Karena perang dunia I telah menimbulkan banyak
pertanyaan tentang apakah pemisahan hukum dengan moral dari positivism hukum
yang populer telah membantu bangkitnya Nazisme di Jerman.
Roscoe Pound (1870-1964),
salah seorang filsuf di Amerika Serikat yang beraliran sosiologi hukum. Ia
mengemukakan bahwa hukum itu berada antara law in books dengan law in action.
Selain itu, ia mengemukakan pentingnya suatu studi yang cermat terhadap
pelaksanaan aktual dari institusi hukum. Akibat dari pendapat Pound sehingga
sering dihubungkan dengan pendekatan social engineering terhadap hukum.
Selanjutnya, Roscoe Pound mengemukakan bahwa hukum berisi perintah dan unsur
ideal. Diantara pemerintah itu, Pound membedakan antara aturan, asas, konsepsi,
doktrin dan standart. Pada masa tuanya pandangan Pound bergeser kea rah suatu
jenis pemikiran hukum alam, yaitu hubungan yang erat antara hukum dengan
moralitas.
Joseph W. Bingham (awal abad
ke-20), seorang yang beraliran filsafat hukum realistis mengungkapkan bahwa
aturan hukum seperti kaidah ilmiah, tidak mempunyai eksistensi yang independen
karena hanya merupakan konstruksi mental yang dengan mudah meringkaskan
fakta-fakta particular. Oleh karena itu, kaidah hukum sesungguhnya adalah
keputusan-keputusan yudisial. Aturan dan asas termasuk faktor kusatif (secara
mental) yang ada dibelakang keputusan itu. Nominalisme dan behaviorisme ini
menjadi ciri khas filsuf yang beraliran realis. ( Zainuddin Ali, Filsafat Hukum, Jakarta : Sinar
Grafika, 2011, hal 17).
Sumber :
Kusumohamidjojo, B. (2011). Filsafat Hukum
Problematika Ketertiban Yang Adil. Bandung: Mandar Maju.
Rasjidi, L., & Ira, T. R. (2003). Pengantar
Filsafat Hukum. Bandung: Mandar Maju.
0 komentar:
Post a Comment