Belajar, ayo kawan mari belajar, namun supaya belajar kita tidak membosankan dan gitu-gitu aja, dan tentunya dapat mencapai hasil yang baik maka kita harus dapat menguasai model dari pembelajaran, nah disini saya akan mencoba menjelaskan tentang beberapa model pembelajaran dari buku yang telah saya baca, semoga apa yang telah saya tulis ini bisa bermanfaat ya bagi pembacanya hehehe.....
BAB
I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Rendahnya mutu dan relevansi pendidikan dipengaruhi oleh sejumlah faktor,
antara lain factor tersebut yaitu mutu proses pembelajaran yang belum mampu
menciptakan proses pembelajaran yang berkualitas.
Dengan model pembelajaran siswa diharapkan akan mampu “berselancar
dalam kesemerawutan”, mendapatkan feedbackuntuk mendapatkan konsolidasi ke dalam, yang ditujukan untuk mengambil keputusan darurat
dalam rangka mengantisipasi dan mengatasi berbagai kejadian yang begitu
kompleks dan chaos di masa depan secara adaftif dan inovatif.
Model pembelajaran
merupakan suatu metode untuk belajar mengajar yang dibentuk supaya dapat
mencapai dari tujuan pembelajaran tersebut.
Rumusan Masalah
1.
Apa yang
dimaksud dengan mpdel pembelajaran?
2.
Seperti apakah
model pembelajran kontekstual (Contektual Teaching Learning)?
3.
Seperti apakah
model pembelajaran kooperatif (Cooperative Learning)?
4.
Seperti apakah
model pembelajaran berdasarkan masalah (Problem Based Learning)?
BAB
II
KAJIAN TEORI
MODEL PEMBELAJARAN
Pengertian
Model pembelajaran adalah
suatu perencanaan atau suatu pola yang digunakan sebagai pedoman dalam
merencanakan pembelajaran di kelas atau pembelajaran dalam tutorial dan untuk
menentukan perangkat-perangkat pembelajaran termasuk didalamnya buku-buku,
film, computer, kurikulum, dan lain-lain (joyce, 1992; 4). Selanjutnya, joyce
menyatakan bahwa setiap model pembelajaran mengarahkan kita kedalam mendesain
pembelajaran untuk memebantu peserta didik sedemikian rupa sehingga tujuan
pembelajaran tercapai.
Istilah model pembelajaran mengarah pada suatu pendekatan
pembelajaran tertentu termasuk tujuannya, sintaksnya, lingkungannya, dan system
pengelolaannya.Istilah model pembelajaran mempunyai makna yang lebih luas
daripada strategi, metode atau prosedur. Model-model pengajaran mempunyai empat
ciri khusus yang tidak dimiliki oleh
strategi, metode atau prosedur. Ciri-ciri tersebut ialah:
1) Rasional teoretis logis yang disusun oleh
para pencipta atau pengembangnya;
2) Landasan pemikiran tentang apa dan
bagaimana siswa belajar (tujuan pembelajaran yang akan dicapai);
3)
Tingkah laku
mengajar yang diperlukan agar model tersebut dapat dilaksanakan dengan
berhasil; dan
4)
Lingkungan
belajar yang diperlukan agar tujuan pembelajaran itu dapat tercapai.
A.
Contextual
Teaching Learning
Contextual Teaching Learning merupakan
suatu proses pembelajaran holistic yang bertujuan untuk membelajarkan peserta
didik dalam memahami bahan ajar secara bermakna (meaningfull) yang
dikaitkan dengan konteks kehidupan nyata, baik berkaitan dengan lingkungan
pribadi, agama, sosial, ekonomi, maupun kultural. Sehingga peserta didik
memperoleh ilmu pengetahuan dan keterampilan yang dapat diaplikasikan dan
ditransfer dari satu konteks permasalahan yang satu ke permasalahan lainnya.
1.
Pandangan
Belajar Menurut Pendekatan Konstektual
a.
Proses Belajar
1)
Belajar tidak
hanya menghafal, akan tetapi mengalami dan harus mengkonstruksikan pengetahuan.
2)
Ilmu
pengetahuan merupakan kumpulan fakta-fakta atau proposisi yang integral, dan
sekaligus dapat dijadikan keterampilan yang dapat diaplikasikan.
3)
Peserta didik
memiliki sikap yang berbeda dalam menghadapi situasi baru dan dibiasakan
belajar menemukan sesuatu bagi memecahkan masalah dalam kehidupannya.
4)
Belajar secara
kontinu dapat membangun struktur otak sejalan dengan perkembangan pengetahuan
dan keterampilan yang diterima.
b.
Karakteristik
Contextual Teaching Learnig
Model pembelajaran kontekstua memiliki karakteristik sebagai
berikut:
1)
Kerjasama antar
peserta didik dan guru (cooperative)
2)
Saling membantu
antar peserta didik dan guru (assist)
3)
Belajar dengan bergairah
(enjoyfull learning)
4)
Pembelajaran
terintegrasi secara kntekstual.
5)
Menggunakan
multimedia dan sumber belajar.
6)
Cara belajar
siswa aktif (student active learning)
7)
Sharing bersama teman (take and give)
8)
siswa kritis
dan guru kreatif
9)
dinding kelas
dan lorong kelas penuh dengan karya siswa.
10)
Laporan siswa
tidak hanya buku rapor, tetapi juga hasil karya siswa, laporan hasil praktikum,
karangan siswa, dan lain sebagainya.
c.
Prinsip
Contextual Teaching Learning
1.
Kesaling
Bergantungan (Intedepedensi)
Prinsip ini
membuat hubungan yang bermakna (making meaningfull connections) antara
proses pembelajaran dan konteks kehidupan nyata sehingga peserta didik
berkeyakinan bahwa belajar merupakan aspek yang esensial bagi kehidupan di masa
datang.
Prinsip ini
mengajak para pendidik mengenali keterkaitan mereka dengan pendidik lainnya,
peserta didik, stakeholder, dan lingkungannya.
Bekerjasama (collaborating)
untuk membantu peserta didik belajar secara efektif dalam kelompok, membantu
peserta didik untuk berinteraksi dengan orang lain, saling mengemukakan
gagasan, saling mendengarkan untuk menemukan persoalan, mengumpulkan data,
mengolah data, dan menentukan alternatif pemecahan masalah.
Prinsipnya
menyatukan berbagai pengalaman dari masing-masing peserta didik untuk mencapai
standar akademik yang tinggi (reaching high standars) melalui
pengidentifikasian tujuan dan memotivasi peserts didik untuk mencapainya.
2.
Perbedaan
(Diferensiasi)
Prinsip
diferensiasi adalah mendorong peserta didik menghasilkan keberagaman,
perbedaan, dan keunikan. Terciptanya kemandirian dalam belajar (self-regulated
learning) yang dapat mengkonstruksi minat peserta didik untuk belajar
mandiri dalam konstek tim dengan mengkorelasikan bahan ajar dengan kehidupan
nyata, dalam rangka mencapaitujuan secara penuh makna (meaningfulness).
Terciptanya
berpikir kritis dan kreatif (critical and creative thinking) di kalangan
peserta didik dalam rangka pengumpulan, analisis, dan sintesa data, guna
pemecahan masalah.
Terciptanya
kemampuan peserta didk untuk mengidentifikasi potensi pribadi, dalam rangka
menciptakan dan mengembangkan gaya belajar (style of learning) yang
paling sesuai sehingga dapat mengembangkan potensinya seoptimal mungkin secara
aktif, kreatif, efektif, inovatif, dan menyenangkan sehingga menghasilkan
sesuatu yang bermanfaat.
3.
Pengaturan Diri
Prinsip
pengaturan diri menyatakan bahwa proses pembelajaran diatur, dipertahankan, dan
disadari oleh peserta didik sendiri, dalam rangka merealisasikan seluruh
potensinya. Peserta didik secara sadar harus menerima tanggung jawab atas
keputusan dan perilaku sendiri, menilai alternatif, membuat pilihan,
mengembangkan rencana, menganalisis informasi, menciptakan solusi dan dengan
kritis menilai bukti.
Melalui
interaksi antar siswa akan diperoleh pengertian baru, pandangan baru sekaligus
menemukan minat pribadi, kekuatan imajinasi, kemampuan mereka dalam bertahan
dan menemukan sisi keterbatasan diri.
4.
Penilaian
Autentik (Authentic Assesment)
Penggunaan
penilaian autentik, yaitu menantang peserta didik dapat mengaplikasikan
berbagai informasi akademis baru dan keterampilannya kedalam situasi
konstektual secara signifikan.
d.
Komponen Contextual
Teaching Learning
Beberapa
komponen yang ada di dalam metode Contextual Teaching Learning adalah
sebagai berikut
1.
Konstruktivisme
(Constructivism)
Contextual Teaching Learning dibangun
dalam landasan konstruktivisme yang memiliki anggapan bahwa pengetahuan
dibangun peserta didik secara sedikit demi sedikit (incremental) dan
hasilnya diperluas melalui konteks terbatas.
Peserta didik harus mengkonstruksi pengetahuan baru secara bermakna
melalui pengalaman nyata, melalui proses penemuan dan mentransformasi informasi
kedalam situasi lain secara konstektual. Oleh karena itu, proses pembelajaran
merupakan proses mengkontruksi gagasan dengan strateginya sendiri bukan sekedar
menerima pengetahuan, serta peserta didik menjadi pusat perhatian dalam proses
pembelajaran (child sentre)
2.
Menemukan (Inquiry)
Proses pembelajaran yang dilakukan peserta didik merupakan proses
penemuan (Inquiry) terhadap sejumlah pengetahuan dan keterampilan.
Proses inquiry terdiri atas:
a)
Pengamatan
(observation);
b)
Bertnya (questioning);
c)
Mengajukan
dugaan (hypothesis);
d)
Pengumpulan
data (data gathering);
e)
Penyimpulan (conclusion).
3.
Bertanya (Questioning)
Proses pembelajaran yang dilakukan peserta didik diawali dengan
proses bertanya. Proses bertanya yang dilakukan peserta didik sebenarnya
merupakan proses berpikir yang dilakukan peserta didik dalam rangka memecahkan
masalah dalam kehidupannya.
Proses bertanya ini sangat beratri untuk:
a)
Membangun
perhatian (attenton building)
b)
Membangun minat
(interest building)
c)
Membangun
motivasi (motivation building)
d)
Membangun sikap
(aptitude building)
e)
Membangun rasa
keingin tahuan (curiosity building)
f)
Membangun
interaksi antar siswa dengan siswa
g)
Membangun
interaksi antar siswa dan guru
h)
Interaksi antar
siswa dan lingkungannya secara konstektual
i)
Membangun lebih
banyak lagi pertanyaan yang dilakukan siswa dalam rangka menggali dan menemukan
lebih banyak informasi (pengetahuanI dan keterampilan yang diperoleh peserta
didik.
4.
Masyarakat
Belajar (Learning Community)
Proses pembelajaran merupakan proses kerja sama antar peserta didik
dengan peserta didik, antar peserta didik dengan gurunya, dan antara peserta
didik dengan lingkungannya.
Proses pembelajaran yang signifikan jika dilakukan dalam
kelompok-kelompok belajar, baik secara homogen maupun secara heterogen sehingga
didalamnya akan terjadi berbagai masalah (sharing problem), berbagai
informasi (sharing information), berbagi pengalaman (sharing
experience), dan berbagai pemecahan masalah yang memungkinkan semakin
banyaknya pengetahuan dan kerampilan yang diperoleh.
5.
Pemodelan
(Modeling)
Proses pembelajaran akan lebih berarti jika didukung dengan adanya
pemodelan yang dapat ditiru, baik yang bersifat kejiwaan (identifikasi) maupun
yang bersifat fisik (imitasi) yang berkaitan dengan cara untuk mengoperasikan
sesuatu aktivitas, cara untuk menguasai pengetahuan atau keterampilan tertentu.
Pemodelan dalam pembelajaran bisa dilakukan oleh guru,
pesertadidik, atau dengan cara mendatangkan narasumber dari luar (outsourcing),
yang terpenting dapat membantu terhadap ketuntasan dalam belajar (mastery
learning) sehingga peserta didik dapat mengalami akselerasi perubahan
secara berarti.
6.
Refleksi (Reflection)
Refleksi dalam pembelajaran adalah cara berfikir tentang apa yang
baru dipelajarinya atau berfikir ke belakang tentang apa yang sudah
dipelajarinya di masa lalu. Refleksi pembelajaran merupakan respons terhadap
aktivitas atau pengetahuan dan keterampilan yang baru diterima dari proses
pembelajaran. Peserta didik dituntut untuk mengedepankan apa yang baru
dipelajarinya sebagai struktur pengetahuan dan keterampilan yang baru sebagai
wujud pengayaan atau revisi dari pengetahuan dan keterampilan sebelumnya.
Guru harus dapat membantu peserta didik
membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki sebelumnya dengan pengetahuan
yang baru. Dengan demikian, peserta didik akan memperoleh sesuatu yang berguna
bagi dirinya mengenai apa yang baru dipelajarinya.
Kuncinya adalah bagaimana pengetahuan dan
keterampilan itu mengendap di jiwa peserta didik sehingga tercatat dan
merasakan terhadap pengetahuan dan keterampilan baru tersebut.
Pada akhir proses pembelajaran sebaiknya
guru menyisakan waktu agar peserta didik melakukan refleksi, yang dapat
diwujudkan dalam bentuk :
a) Pernyataan langsung peserta didik tentang
yang diperoleh hari itu;
b) Jurnal belajar di buku pribadi peserta
didik;
c) Kesan dan saran peserta didik mengenai
pembelajaran hari itu.
7.
Penilaian yang
Sebenarnya (Authentic Assesment)
Penilaian merupakan proses pengumpulan data yang dapat
mendeskripsikan mengenai perkembangan prilaku peserta didik. Pembelajaran
efektif adalah proses membantu peserta agar mempu mempelajari (learning to
learn) bukan hanya menekankan pada diperolehnya sebanyak mungkin informasi
di akhir periode pembelajaran.
Oleh karena penilaian menekankan pada proses pembelajaran, data
yang dikumpulkan dari kegiatan nyata yang dikerjakan siswa pada saat melakukan
pembelajaran. Kemajuan belajar peserta didik dinilai dari proses, tidak semata
dari hasil. Oleh karena itu, penilaian authentic merupakan proses
penilaian pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa dimana penilai
tidak hanya guru, tetapi juga teman siswa ataupun orang lain.
Adapun
karakteristik dari penilaian authentic antara lain sebagai berikut:
a)
Penilaian dilakukan
selama dan sesudah proses pembelajaran berlangsung.
b)
Aspek yang
diukur adalah keterampilan dan performasi, bukan mengingat fakta apakah peserta
didik belajar? Atau apa yang sudah diketahui peserta didik?
c)
Penilaian
dilakukan secara berkelanjutan, yaitu dilakukan dalam beberapa tahapan dan
periodik, sesuai dengan tahapan waktudan bahasannya, baik dalam bentuk formatif
maupun sumatif.
d)
Penilaian
dilakukan secara integral, yaitu menilai berbagai aspek pengetahuan, sikap, dan
keterampilan peserta didik sebagai satu kesatuan utuh.
e)
Hasil penilaian
digunakan sebagai feedback, yaitu untuk keperluan pengayaan (enrichment)
standard minimal telah tercapai atau mengulang (remedial) jika standar
minimal belum tercapai.
B.
Cooperative
Learning
Cooperative learning yaitu
pendekatan pembelajaran yang menggunakan kelompok kecil peserta didik untuk
bekerjasama dalam rangka mengoptimalkan kondisi belajar untuk mencapai tujuan
belajar.
1.
Ruang Lingkup
Cooperative Learning
a.
Landasan
Pemikiran
Jika disusun dengan baik, belajar kompetitif dan individualistis
akan efektif dan merupakan cara memotivasi siswa untuk melakukan yang terbaik.
Meskipun demikian, terdapat beberapa kelemahan pada belajar kompetitif dan
individualistis, yaitu:
1)
Kompetisi siswa
kadang tidak sehat. Sebagai contoh jika seorang siswa menjawab pertanyaan guru,
siswa yang lain berharap agar jawaban yang diberikan salah;
2)
Siswa
berkemampuan rendah akan kurang termotivasi;
3)
Siswa
berkemampuan rendah akan sulit untuk sukses dan semakin tertinggal;
4)
Dapat membuat
frustasi siswa lainnya.
Untuk menghindari hal-hal tersebut dan agar siswa dapat membantu
siswa yang lain untuk mencapai sukses, maka jalan keluarnya adalah dengan
belajar kooperatif.
Pembelajaran kooperatif bernaung dalam teori kontruktivis.
Pembelajaran ini muncul dari konsep bahwa siswa akan lebih mudah menemukan dan
memahami konsep yang sulit jika mereka saling berdiskusi dengan temannya. Siswa
secara rutin bekerja dalam kelompok untuk saling membantu memecahkan
masalah-masalah yang kompleks.Jadi, hakikat sosial dan penggunaan kelompok
sejawat menjadi aspek utama dalam pembelajaran kooperatif.
b.
Tujuan
Cooperative Learning
Johnson & Johnson (1994) menyatakan bahwa tujuan pokok belajar
kooperatif adalah memaksimalkan belajar siswa untuk peningkatan prestasi
akademik dan pemahaman baik secara individu maupun secara kelompok.Karena siswa
bekerja dalam suatu team, maka dengan sendirinya dapat memperbaiki hubungan
diantara para siswa dari berbagai latarbelakang etnis dan kemampuan, mengembangkan
keterampilan-keterampilan proses kelompok dan pemecahan masalah.
Zamroni (2000) mengemukakan bahwa menfaat penerapan belajar
kooperatif adalah dapat mengurangi kesenjangan pendidikan khususnya dalam wujud
input pada level individual. Disamping itu, belajar kooperatif dapat
mengembangkan solidaritas sosial dikalangan siswa. Dengan belajar kooperatif,
diharapkan kelak akan muncul generasi baru yang memiliki prestasi akademik yang
cemerlang dan memiliki solidaritas sosial yang kuat.
c.
Unsur Penting dalam
Cooperative Learning
Menurut Johnson & Johnson (1994) dan Sutton (1992), terdapat
lima unsur penting dalam belajar kooperatif, yaitu:
1)
Saling
ketergantungan yang bersifat positif antara siswa. Dalam belajar kooperatif
siswa merasa bahwa mereka sedang bekerja sama untuk mencapai satu tujuan dan
trikat satu sama lain. Seorang siswa tidak akan sukses kecuali semua anggota
kelompoknya juga sukses. Siswa akan merasa bahwa dirinya merupakan bagian dari
kelompok yang juga mempunyai andil terhadap suksesnya kelompok.
2)
Interaksi antar
siswa yang semakin meningkat. Hal ini terjadi dalam hal seorang siswa akan
membantu siswa lain untuk sukses sebagai anggota kelompok. Saling memberikan
bantuan ini akan berlangsung secara alamiah, karena kegagalan seseorang dalam
kelompok memengaruhi suksesnya kelompok. Untuk mengatasi masalah ini, siswa
yang membutuhkan bantuan akan mendapatkan dari teman sekelompoknya. Interaksi
yang terjadi dalam belajar kooperatif adalah dalam hal tukar-menukar ide
mengenai masalah yang sedang dipelajari bersama.
3)
Tnggung jawah
individual. Tanggung jawab ini dapat berupa tanggung jawab siswa dalam hal: (a)
membantu siswa yang membutuhkan bantuan dan (b) siswa tidak dapat hanya sekedar
“membonceng” pada hasil kerja teman jawab siswa dan teman sekelompoknya.
4)
Keterampilan
interpersonal dan kelompok kecil. Dalam belajar kooperetif, selain dituntut
untuk mempelajari materi yang diberikan seorang siswa dituntut untuk belajar
bagaimana berinteraksi dengan siswa lain dalam kelompoknya. Bagaimana siswa
bersikap sebagai anggota kelompok dan menyampaikan ide dalam kelompok akan
menuntut keterampilan khusus.
5)
Proses
kelompok. Belajar kooperatif tidak akan berlangsung tanpa proses kelompok.
Proses kelompok terjadi jika anggota kelompok mendiskusikan bagaimana mereka
akan mencapai tujuan dengan baik dan membuat hubungan kerja yang baik.
d.
Implikasi
Cooperative Learning
Davidson (1991) memberikan sejumlah
implikasi positif dalam pembelajaran dengan menggunakan strategi belajar
kooperatif, yaitu sebagai berikut:
1)
Kelompok kecil
memberikan dukungan sosial untuk belajar, juga membentuk forum dimana siswa
menanyakan pertanyaan, mendiskusikan pendapat, belajar dari oendapat orang
lain, memberikan kritik yang membangun dan menyimpulkan penemuan mereka dalam
bentuk tulisan.
2)
Kelompok kecil
menawarkan kesempatan untuk sukses bagi semua siswa. Interaksi dalam kelompok
dirancang untuk semua anggota mempelajari konsep dan strategi pemecahan
masalah.
3)
Suatu masalah
idealnya cocok untuk didiskusikan secara kelompok, sebab memiliki solusi yang
dapat didemonstrasikan secara onjektif. Seorang siswa dapat memengaruhi siswa
lain dengan argumentasi yang logis.
4)
Siswa dalam
kelompok dapat membantu siswa lain untuk menguasai masalah-masalah dasar dan
prosedur perhitungan yang perlu dalam konteks permainan, teka-teki, atau
pembahasan masalah-masalah yang bermanfaat.
5)
Ruang lingkup
materi dipenuhi oleh ide-ide menarik dan menantang yang bermanfaat bila
didiskusikan.
C.
Problem Based Learning
Problem based learning, merupakan pendekatan pembelajaran yang menggunakan masalah nyata
sebagai suatu konteks sehingga peserta didik dapat belajar berpikir kritis
dalam melakukan pemecahan masalah yang ditunjukan untuk memperoleh pengetahuan atau
konsep yang esensial dari bahan pelajaran.
Namun ada
beberama masalah dalam penerapan model pembelajaran ini, sehingga mengurangi
atau tidak optimalnya hasil dari metode pembelajaran berdasarkan masalah ini,
masalahnya yaitu siswa hanya mampu menghapal konsep tetapi kurang mampu dalam
menggunakan konsep tersebut, jika menemui masalah dalam kehidupan nyata yang
berhubungan dengan konsep yang dimiliki.Selain itu guru hanya menuntut siswa untuk belajar dan jarang memberikan
pelajaran tentang bagaimana siswa untuk belajar, guru juga menuntut siswa untuk
menyelesaikan masalah tetapi jarang mengajarkan bagaimana siswa seharusnya
menyelesaikan masalah.
1.
Ciri-ciri
Khusus Problem Based Learning
Menurut Arends
(2001:349), berbagai pengembangan pengajaran berdasarkan masalah telah
memberikan model pengajaran itu memiliki karakteristik sebagai berikut:
1)
Pengajuan
pertanyaan atau masalah. Bukannya mengorganisasikan di sekitar prinsip-prinsip
atau ketrampilan akademik tertentu, pembelajaran berdasarkan masalah mengorganisasikan
pengajaran disekitar pertanyaan dan masalah yang dua-duanya secara sosial
penting dan secara pribadi bermakna untuk siswa. Mereka mengajukansituasi
kehidupan nyata autentik, menghindari jawaban sederhana, dan memungkinkan
adanya berbagai macam solusi untuk situasi itu.
2)
Berfokus pada
keterkaitan antardisiplin. Meskipun pembelajaran berdasarkan masalah mungkin
berpusat pada mata pelajaran tertentu (IPA, matematika, dan ilmu-ilmu sosial),
masalah yang akan diselidikki telah dipilih benar-benar nyata agar dalam
pemecahannya, siswa meninjau masalah itu dari banyak mata pelajaran. Sebagai
contoh, masalah polusi yang dimunculkan dalam pelajaran di Teluk Chesapeake
mencakup berbagai subjek akademik dan terapan mata pelajaran seperti biologi, ekonomi,
sosiologi, pariwisata, dan pemerintahan.
3)
Penyelidikan
autentik. Pembelajaran berdasarkan masalah mengharuskan siswa melakukan
penyelidikan autentik untuk mencari penyelesaian nyata terhadap masalah nyata.
Mereka harus menganalisis dan mendefinisikan masalah, mengembangkan hipotesis,
dan membuat ramalan, mengumpul dan menganalisa informasi, melakukan eksperimen
(jika diperlukan), membuat inferensi, dan merumuskan kesimpulan. Sudah barang
tentu, metode penyelidikan yang digunakan, bergantung kepada masalah yang sedang
dipelajari.
4)
Menghasilkan
produk dan memamerkannya. Pembelajaran berdasarkan masalah menuntut siswa untuk
menghasilkan produk tertentu dalam bentuk karya nyata atau artefak dan peragaan
yang menjelaskan atau mewakili bentuk penyelesaian masalah yang mereka temukan.
Produk tersebut dapat berupa transkrip debat seperti pada pelajaran “Roots
and Wings”. Produk itu dapat juga berupa laporan, model fisik, video maupun
program computer. Karya nyata dan peragaan seperti yang akan dijelaskan
kemudian, direncanakan oleh siswa untuk mendemonstrasikan kepada temen-temennya
yang lain tentang apa yang mereka pelajari dan menyediakan suatu alternative
segar terhadap laporan tradisional atau makalah.
5)
Kolaborasi.
Pembelajaran berdasarkan masalah dicirikan oleh siswa yang bekerja sama satu
dengan yang lainnya, paling sering secara berpasangan atau dalam kelompok
kecil. Bekerjasama memberikan motifasi untuk secara berkelanjutan terlibat
dalam tugas-tugas kompleks dan memperbanyak peluang untuk berbagi inquiri dan
dialog dan untuk mengembangkan keterampilan sosial dan keterampilan berpikir.
2.
Tujuan Problem
Based Learning
a.
Keterampilan
Berpikir dan Keterampilan Pemecahan Masalah
Problem based learning memberikan dorongan kepada siswa untuk tidak hanya sekedar berpikir
sesuai yang bersifat konkret, tetapi lebih dari itu berpikir terhadap ide-ide
yang abstrak dan kompleks. Dengan kata lain PBL melatih kepada peserta didik
untuk memiliki keterampilan berpikir tingkat tinggi.
Hakikat kekomplekan dan konteks dari
keterampilan berpikir tingkat tinggi tidak dapat diajarkan menggunakan
pendekatan yang dirancang untuk mengajarkan ide dan keterampilan yang kebih
konkret, tetapi hanya dilakukan dengan menggunakan pendekatan pemecahan masalah
(problem solving) oleh peserta didik sendiri.
b.
Belajar Peranan
Orang Dewasa yang Autentik
Menurut Resnick (dalam Ibrahim dan
Nur, 2007:7), bahwa model pembelajaran berdasarkan masalah amat penting untuk
menjembatani gap antara pembelajaran di sekolah formal dengan aktivitas mental
yang lebih praktis yang dijumpai diluar sekolah. Berdasarkan pendapatnya maka
PBL memiliki implikasi:
1)
Mendorong kerja
sama dalam menyelesaikan tugas;
2)
Memiliki
elemen-elemen belajar magang, hai ini mendorong pengamatan dan dialog-dialog
dengan orang lain, sehingga secara bertahap siswa dapat memahami peran orang
yang diamati atau diajak dialog (ilmuan, guru, doctor, dan sebagainya);
3)
Melibatkan
siswa dalam penyelidikan pilihan sendiri, sehingga memungkinkan mereka
menginterpretasikan dan menjelaskan fenomena dunia nyata dan membangun
pemahaman terhadap fenomena tersebut secara mandiri.
c.
Menjaga
Pembelajar yang Mandiri
Problem Based Learning berusaha membantu siswa menjadi pembelajaran yang mandiri dan otonom.Dengan
bimbingan guru yang secara berulang-ulang mendorong dan mengarahkan mereka
untuk mengajukan pertanyaan, mencari penyelesaian terhadap masalah nyata oleh
mereka sendiri, siswa belajar untuk menyelesaikan tugas-tugas itu secara
mandiri dalam hidupnya kelak.
3.
Kelebihan dan
Kekurangan Problem Based Learning
Disini akan dibahas mengenai
kelebihan dan kerurangan dari model pembelajaran berdasarkan masalah, kelebihan
dari model pembelajaran berdasarkan masalah ini diantaranya:
1)
Realistic
dengan kehidupan siswa;
2)
Konsep sesuai
dengan kebutuhan siswa;
3)
Memupuk sifat
inquiry siswa;
4)
Retensi konsep
jadi kuat;
5)
Memupuk
kemampuan Problem solving.
Selain memiliki
kelebihan, medel pembelajaran masalah juga memiliki berbagai kekurangan, antara
lain:
1)
Persiapan
pembelajaran (alat, problem, konsep) yang kompleks;
2) Sulitnya mencari problem yang relevan;
3) Sering terjadi mis-konsepsi;
4)
Konsumsi waktu,
di mana model ini memerlukan waktu yang cukup dalam proses penyelidikan. Sehingga
terkadang banyak waktu yang tersita untuk proses tersebut.
4.
Peran Guru
Dalam Problem Based Learning
Menurui Ibrahim (2003:15), di dalam
kelas PBL, peran guru berbeda dengan kelas tradisional. Peran guru dalam kelas
PBL antara lain sebagai berikut:
1)
Mengajukan
masalah atau mengorientasikan siswa kepada masalah autentik, yaitu masalah
kehidupan nyata sehari-hari;
2)
Memfasilitasi/membimbing
penyelidikan misalnya melakukan pengamatan atau melakukan eksperimen/percobaan;
3)
Memfasilitasi
dialog siswa;
4)
Mendukung
belajar siswa.
5.
Assessment dan
Evaluasi
Teknik penilaian dan evaluasi yang
sesuai dengan model pengajaran berdasarkan masalah adalah menilai pekerjaan
yang dihasilkan siswa yang merupakan hasil penyelidikan mereka.
Tugas asessement dan evaluasi
yang sesuai untuk model pengajaran berdasarkan masalah terutama terdiri dari
menemukan prosedur penilaian alternative yang akan digunakan untuk mengukur
pekerjaan siswa, misalnya dengan asessementmelakukan pengamatan, asessement
merummuskan pertanyaan, asessement merumuskan sebuah hipotesis dan
sebagainya.
BAB
III
KESIMPULAN
Model pembelajaran merupakan suatu
alat yang dipergunakan untuksuatu perencanaan atau suatu pola yang digunakan
sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelas atau pembelajaran
dalam tutorial dan untuk menentukan perangkat-perangkat pembelajaran.Model
pembelajaran dibentuk untuk membuat pembelajaran dapat mencapai target yang
diinginkan.
Dalam metode pembelajaran kontestual
(Contextual Teaching Learning), siswa dituntut untuk bisa mengaplikasikan
konsep yang dipelajarinya dengan kehidupan nyata yang ada di lingkungan sosial.
Dalam pembelajaran kontekstual, siswa tidak hanya belajar dari menghafal,
tetapi siswa harus mengalammi dan mengaplikasikan apa yang diketahuinya,
sehingga siswa akan dapat mengkonstruksikan dan mentransfer permasalahan dari
konteks permasalahan yang satu kepada permasalahan yang lain.
CooperativeLearning, adalah suatu model pembelajaran yang menggunakan kelompok-kelompok
kecil, dimana dalam kelompok ini siswa dituntut untuk mampu saling berbagi,
baik itu pendapat, masalah, ataupun saling bertanya. Sehingga dalam metode
pembelajaran ini siswa dituntut untuk dapat aktif, maka dari itu pembelajaran
cooperative akan mampu meningkatkan solidaritas antar siswa.
Problem Based Learning, atau pembelajaran berdasarkan masalah, metode pembelajaran ini
mengaitkan pelajaran dengan masalah yang ada di sekitar siswa, dimana model
pembelajaran ini akan menuntut siswa supaya berpikir kritis untuk dapat
menemukan jalan supaya dapat memecahkan masalah tersebut, namun masalah dalam
metode pembelajaran ini yaitu sulitnya mencari masalah yang relevan antara
pelajaran yang dibahas dengan masalah yang terjadi.
DAFTAR
PUSTAKA
-
Trianto, Mendesain
Model Pembelajan Inovatif-Progresif, Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2011
-
Hanifah Nanang
dan Suhana Cucu, Konsep Strategi Pembelajaran, Bandung: Refika Aditama,
2010
0 komentar:
Post a Comment