BAB IX LEGITIME PORTIE
A. Pengertian
Sebagaimana telah kitaketahui, bahwa seseorang itu
berhak untuk memberikan hartanya kepada siapa saja. Bebas, walaupun orang yang
diberi tersebut tidak memiliki hubungan pertalian saudara, namun kebebasan
tersebut adalah terbatas oleh ketentuan undang-undang. Pembatasan tersebut
adalah merupakan upaya undang-undang untuk melindungi orang-orang yang termasuk
keluarga sedarah dari si peninggal warisan.
Bagi mereka ini undang-undang telah memberikan bagian
tertentu yang tidak boleh dikurangi dengan cara apapun oleh si
pewaris/peninggal harta warisan. Bagian ini sering disebut dengan bagian mutlak
atau legitime portie dan orang-orang
yang mempunyai hak ini sering disebut dengan legitimaris.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar seseorang tersebut
memperoleh kedudukan sebagai legitimaris adalah:
1.
Orang tersebut
adalah keluarga sedarah dalam garis lurus.
2.
Orang tersebut
adalah merupakan ahli waris menurut ketentuan undang-undang pda saat si
peninggal warisan meninggal dunia.
Contoh:
P
meninggal dunia dengan meninggalkan 2 orang anak yaitu D dan D. Legitimaris
adalah C dan D, sebab adalah keluarga sedarah P dalam garis lurus C dan D
tersebut adalah ahli waris ab-intestato.
P
meninggal dunia dengan meninggalkan A (kakek), B dan C (saudara). A bukan
legitimaris, karena pada waktu meninggalnya P, A bukan ahli waris. Dan C dan B
juga bukan karena tidak merupakan sedarah dalam garis lurus.
Legitime portie ini harus dihitung apabila:
1.
Salah satu atau
beberapa ahli waris menuntut haknya.
2.
Atau, salah
satu/beberapa orang ahli waris/legitimaris masih ada di bawah umur (minder
jarig).
1. Legitime Portie Masing-masing Legitimaris
1.
Legitime portie
untuk anak keturunan yang sah adalah sebagai berikut:
a.
Satu orang anak
LP-nya adalah ½ dari bagian menurut undang-undang.
b.
Dua orang anak
LP-nya adalah 2/3 dari bagian menurut undang-undang.
c.
Tiga orang anak
LP-nya adalah ¾ dari bagian menurut undang-undang.
2.
LP untuk
keluarga sedarah dalam garis lurus keatas adalah ½ dari bagian menurut
undang-undang.
3.
LP untuk anak
luar kawin adalah ½ dari bagian menurut undang-undang.
Jadi dengan adanya ketentuan tentang bagian mutlak
atau LP ini dapat kita simpulkan bahwa, seseorang boleh saja mewariskan atau
menghibahkan hartanya kepada orang lain namun tidak boleh mengurangi bagian
mutlak dari ahli waris, jika terjadi pelanggaran terhadap hal ini maka
dilakukan pemotongan atau sering disebut dengan istilah “incorting” dengan urutan-urutan sebagai berikut:
a.
Yang harus
dikurangi terlebih dahulu adalah wasiat.
b.
Jika wasiat
belum mencukupi maka diambilkan dari hibah.
c.
Pengurangan
terhadap beberapa wasiat harus dilakukan dengan perbandingan (undha-usuk,
jawa).
2. Cara Menghitung Legitime Portie
1.
Harta
peninggalan sewaktu peninggal warisan meninggal dunia, dihitung dan
diinventarisir untuk mengetahui berapa nilai harganya.
2.
Nilai harga dari
barang-barang yang mungkin ketika si peninggal warisan masih hidup diberikan
ditambahkan dengan yang di atas.
3.
Jumlah di atas
dikurangi dengan utang-utang yang pernah dibuat oleh si peninggal warisan.
4.
Sisa dari
pengurangan tersebut menjadi dasar perhitungan LP.
3. Legitime Portie dan Penggantian Tempat
LP seseorang dapat digantikan oleh ahli
warisnya/keturunannya. Hal ini adalah sesuai dengan pasal 914 BW pada ayat
terakhir yang menyatakan bahwa, jika ada
anak yang telah meninggal terlebih dahulu, kedudukan anak yang telah meninggal
lebih dahulu dapat digantikan oleh keturunannya.
Contoh:
A meninggal dunia dengan meninggalkan 2 orang anak B
dan C, serta Ca dan Cb anak sah dari C. LP untuk B dan C adalah dari bagian
menurut UU.
LP B = 2/3 x ½ = 1/3
LP C = 2/3 x ½ = 1/3
Jika C telah meninggal dulu dan digantikan Ca dan Ca,
maka LP Ca = AL Cb = ½ x 1/3 =1/6.
4. Dalam Hal Legitimaris Menolak atau Tidak Patut Menerima
Besarnya LP adalah dikaitkan dengan besarnya warisan
menurut undang-undang, sedangkan adanya penolakan harta warisan sangat
mempengaruhi besarnya harta warisan, demikian juga adanya seseorang yang
dianggap tidak patut menerima juga mempengaruhi besarnya harta warisan. Dengan
demikian timbul pertanyaan, apakah dengan adanya penolakan atau ketidak patuhan
ahli waris untuk menerima mempengaruhi besar kecilnya LP? Jawabannya adalah:
tidak, ada ataupun tidak penolakan harta warisan ataupun adanya yang dianggap
tidak patut tetap tidak mempengaruhi besarnya LP.
Dalam keadaan biasa F, G dan H masing-masing menerima
1/3 dari LP masing-masing adalah ¾ x 1/3 =1/4.
Jika F dinyatakan tidak patut atau menyatakan menolak
harta warisan, maka LP G dan H menjadi ½ ataukah tetap ¼ ?
Untuk menjawabnya perlu kita ketahui bahwa BW menganut
system romawi, dimana ditetapkan hak mutlak dari tiap-tiap ahli waris secara
individual, maka untuk menghitung dan menetapkan besarnya LP tetap pula
diperhitungkan anak-anak atau ahli waris legitimaris yang dinyatakan tidak patut
menerima maupun yang menolak warisan.
a. Incorting
Seperti telah diutarakan dimuka bahwa jika terjadi
pelanggaran terhadap Lp sehingga hak mutlak tidak dapat dicapai besarnya maka
diadakan pemotongan atau incorting terhadap wasiat, dan jila masih belum mencukupi
maka diambilkan dari hibah.
Contoh Kasus:
a.
Meninggal dunia
dengan meninggalkan dua orang anak yaitu B dan C, disamping itu meninggalkan
wasiat yang isinya menerangkan X sebagai ahli waris dengan bagian ¾ dari
seluruh harta warisan. Jumlah harta warisan A senilai Rp. 120 juta. Para
legitimaris menurut LP. Bagaimana penyelesaiannya?
Harta peninggalan A senilai Rp. 120 juta.
Pelaksanaan wasiat kepada X = ¾ x Rp. 120 juta = Rp.
90 juta.
Sisa = Rp 120
juta
Rp.
90 juta -
Rp. 30 juta
Pembagian
menurut undang-undang:
B =
C, masing-masing = ½ x Rp. 30 juta = Rp. 15 juta
Penghitungan
LP
LP B
= LP C masing-masing = 2/3 x ½ x Rp. 120 juta = RP 40 juta.
Jadi B dan C tidak boleh menerima kurang dari Rp. 40
juta karena itu merupakan hak mutlakya, padahal mereka masing-masing baru
menerima Rp. 15 juta, jadi masing-masing kurang = Rp. 40 juta – Rp 15 juta,
atau total (B+C) kurang = Rp. 50 juta.
Kekurangan tersebut diambil dari wasiat.
Kesimpulan:
B menerima Rp. 40 Juta.
C menerima Rp. 40 juta
Terhadap X dilakukan pemotongan atau incorting, yaitu:
Rp. 90 juta – Rp. 50 juta = Rp. 40 juta
Jadi yang diterima X = Rp 40 juta.
b. Checking
Dimaksudkan untuk meneliti apakah yang diterima B, C
dan D tersebut sudah mencukupi LP nya ataukah belum.
B. Inbreng (Pemasukan)
Inbreng adalahpemasukan kembali ke dalam harta peninggalan,
hibah-hibah/pemberian-pemberian si peninggal warisan ketika masih hidup,
tentang apa yang dimasukkan kembali ditentukan oleh pasal 1086 dan 1096 BW,
adalah sebagai berikut:
1.
Semua hibah oleh
si pewaris (peninggal warisan ketika masih hidup).
2.
Segala sesuatu
yang telah diberikan kepada ahli waris.
3.
Segala hal yang
telah diberikan kepada ahli waris untuk memberikan kedudukan dalam masyarakat
atau satu jabatan atau pekerjaan kepada ahli waris.
4.
Segala sesuatu yang
dimasukan untuk membayar utang-utang si ahli waris.
5.
Segala sesuatu
yang merupakan pesangon perkawinan.
Namun disamping itu ada beberapa hal yang merupakan
pemberian pewaris akan tetapi tidak perlu untuk dimasukkan kembali, yang oleh
1097 BW ditentukan antara lain:
1.
Biaya nafkah dan
biaya pendidikan ahli waris.
2.
Biaya belajar
guna perdagangan, kerajinan tangan, kebudayaan, dan perusahaan.
3.
Biaya perkawinan
da pakaian yang perlu untuk hidup setelah perkawinan.
4.
Biaya untuk
membayar upah kepada orang yang menggantikan ahli warisuntuk wajib militer.
Yang Wajib Melakukan Inbreng
Harus memenuhi dua syarat, yaitu:
1.
Ahli waris dalam
garis lurus ke bawah.
2.
Shli waris yang
pernah menerima hibah pada saat si pewaris masih hidup.
Jadi pada prinsipnya orang yang melakukan inbreng
adalah ahli waris dalam garis lurus ke bawah yang pernah menerima hibah
diwajibkan melakukan inbreng, kecuali dengan tegas di bebaskan untuk tidak
melakukan inbreng, baik itu pembebasan yang dicantumkan dalam akta hibah, akta
autentik lainnya, ataupun dalam surat wasiat. Sehingga dalam pengertian ini
pula keluarga sedarah yang tidak dalam garis lurus ke bawah, walaupun pernah
menerima hibah tidak diwajibkan melakukan inbreng, kecuali secara tegas
diwajibkan oleh pewaris dlam suatu akta autentik atau dalam surat wasiat.
Contoh Kasus :
1.
A meninggal pada
tahun 1959. Di tahun 1955, A menghibahkan kepada anaknya berupa sebidang sawah,
yaitu kepada B. Apakah B wajib melakukan inbreng?
Dalam hal ini wajib melakukan inbreng, karena:
-
B merupakan ahli
waris dalam garis lurus ke bawah, dan B pernah menerima hibah.
-
Pada tahun 1978
F meninggal dunia, sebelum F menghibahkan kepada anaknya (V) sebidang sawah,
dan kepada cucunya, yaitu Xa dan Xb masing-masing sebuah rumah. Ahli warisnya
adalah V, W dan X. Siapakah yang wajib melakukan inbreng?
-
Untuk
mengetahuinya, perlu kita pahami lagi syarat-syarat yang wajib inbreng yaitu:
a). Ahli
waris dalam garis lurus ke bawah
b). Pernah
menerima hibah.
Oleh karena itu dapatlah kita ketahui bahwa yang wajib
melakukan inbreng adalah V, sedangkan Xa dan Xb tidak wajib inbreng, sebab F
meninggal dunia Xa dan Xb bukan ahli waris F.
2.
Pada tahun 1976
A meninggal dunia, sebelum meninggal A telah menghibahkan kepada B sebuah
rumah, dan kepada C sebidang sawah. B menolak warisan sedangkan C dinyatakan
tidak patut mewaris.
Apakah B dan C wajib inbreng atau tidak?
B dan C tidak wajib inbreng karena bukan ahli waris A.
Pada tahun 1985 A meninggal dunia, ia pernah
menghibahkan kepada B sebuah rumah.
B meninggal dunia pada tahun 1979 dengan meninggalkan
2 orang anak yaitu Ba dan Bb. Ahli waris A adalah C dan D (anak A) serta Bad an
Bb dari B.
Dalam hal ini apakah Ba dan Bb wajib inbreng?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita perhatikan
pasal 1089 ayat 3 yang menyatakan bahwa cucu yang menjadi ahli waris selaku
pengganti orang tuanya yang telah meninggal dunia terlebih dahulu maka ia harus
melakukan inbreng.
Dengan demikian maka Bad an Bb wajib melakukan
inbreng.
3.
P meninggal
dunia pada tahun 1985, sebelum meninggal ia pernah menghibahkan sebidang tanah
pekarangan kepada anaknya yaitu D, yang mana D ini telah memiliki 2 orang anak
yaitu Dad an Db. Anak P ada tiga orang, yaitu C, D dan E, namun karena mereka
membunuh P, oleh hakim dijatuhi hukuman karena membunuh P. Oleh karena itu
mereka tidak patut mewaris, oleh karena itu pula ahli waris P adalah Dad an Db
yang mewaris karena dirinya sendiri.
Apakah Dad an Db wajib inbreng?
Menurut pasal 1089 ayat 2 BW dinyatakan bahwa seorang
anak yang karena kedudukannya sendiri memperoleh harta warisan yang tidak perlu
memasukan atau inbreng pemberian kakek neneknya kepada orang tuanya. Dengan
demikian sehubungan dengan kasus di atas maka Dad an Db tidak wajib inbreng.
4.
Pada tahun 1959
A meninggal dunia dengan meninggalkan 3 orang anak, yaitu B, C dan D. Pada
tahun 1954 A memberikan hibah kepada D sebesar Rp. 10.000,00. Harta peninggalan
A senilai Rp. 50.000,00. Bagaimana penyelesaian pembagian warisannya?
Penyelesaian :
Harta warisan A senilai Rp. 50.000,00
Inbreng Rp.
10.000,00 +
Rp.
60.000,00
Ahli waris A adalah B, C dan D
Bagian B = C = D + 1/3 x Rp. 60.000,00 = Rp.
20.000,00.
0 komentar:
Post a Comment