LAPORAN
HASIL PENELITIAN DI KAMPUNG BADUY
Cirri-ciri
dan Lingkingan Sekitar
Kampung
baduy merupakan salah satu perkampungan masyarakat adat yang ada di Indonesia,
tepatnya pemukiman mereka terletak di
kaki pegunungan Kendeng, Desa Kanekes,
Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak Rangkas Bitung, Banten, masyarakat disana
umumnya menyebut dengan sebutan “kami urang kanekes”. Ada tiga pemukiman utama
masyarakat adat Baduy dalam yaitu Cibeo, Cikeusik, dan Cikertawarna, Kampung
Baduy merupakan kelompok masyarakat adat yang mengisolasi kehidupannya dari
dunia luar, dimana mereka tidak membuka diri untuk mengikuti kemajuan zaman,
karena mempertahankan adat yang dianutnya.
Cirri
yang membedakan antara masyarakat baduy dalam dan baduy luar dalam hal
berpakaian yaitu, jika masyarakat baduy dalam memakai baju dan ikut kepala berwarna putih, dan kebawahnya
menggunakan kain penutup berwarna hitam, sedangkan orang baduy luar sudah
menggunakan pakaian bebas, seperti kaos, kemeja, celana jeans, dan yang
lainnya.
Kebersihan
dan kelestarian alam di baduy dalam sangatlah dijaga, salah satunya dimana
masyarakat baduy dalam tidak pernah menggunakan sabun atau sejenis bahan
prmbersih, atau bahan kimia lainnya, karena menurut mereka semua itu akan
merusak alam, dan mereka menggunakan bahan alami seperti halnya untuk mandi
mereka menggunakan pasir sungan atau daun-daunan. Berbeda dengan di baduy luar,
mereka sudah terbiasa dengan menggunakan sejenis sabun dan bahan kimia lainnya.
Rumah
di kampung
baduy menggunakan atap dari daun kirai, namun ada perbedaan rumah di baduy
dalam dan di badu luar. Rumah di baduy dalam tidak boleh menggunakan paku cukup
hanya di ikat dengan bambu
saja, dan rumah harus menghadap dua arah yaitu ke utara dan selatan, dan
rumahnya harus memiliki satu pintu, kalau tidak di sebelah utara maka pintunya
terletak di sebelah selatan, dan tanahnya tidak diratakan pada saat pembangunan
rumah. Sedangkan di baduy luar rumahnya sudah menggunakan paku dan dindingnya
sudah menggunakan anyaman ukir.
Di baduy memiliki kesenian tradisional yaitu angklung
buhun, dimana kesenian ini dipakai untuk menghibur dan bermakna seiring riwayat
dewi sri yang senang dihibur oleh angklung tersebut.
Bahasa
Bahasa
sehari-hari yang digunakan oleh
masyarakat baduy pada umumnya adalah Bahasa Sunda yang berdialek Sunda Banten
(kasar). Namun untuk berkomunikasi dengan orang luar yang tidak bias berbahasa
sunda, mereka bisa menggunakan Bahasa Indonesia, yang diketahuinya dari
orang-orang pendatanng.
Pendidikan
Masyarakat
adat kampung
Baduy atau orang Kanekes menolak pendidikan yang bersifat formal karena
beranggapan bahwa pendidikan formal melanggar adat mereka, seperti yang
dikatakan oleh salah satu anggota masyarakat baduy yaitu : “kami mah didieu teu aya nu namina sakola, ku
sabab teu meunang etateh ngalanggar adat, jadi sakola kami didieu mah ngarana
sakola lisan, nyaeta sakolana diajar bangsa elmu cara melak tani, jeung cara
ngitung-ngitung musim, pan aya itungana lamun melak pare kudu iraha-irahana,
henteu sagawayah, eta aya anu ngajarkeuna”. Begitulah penuturan salah seorang
anggota masyarakat kampung
baduy yang berbincang-bincang dengan kami. Akibatnya mayoritas orang kanekes
itu tidak dapat membaca dan menulis.
Kepercayaan
(Religi)
Kepercayaan
masyarakat Baduy atau orang kanekes yaitu “Sunda Wiwitan” yaitu semacam
pemujaan kepada nenek moyang dan mereka beranggapan atau mengaku bahwa mereka
umat Nabi Adam atau umat yang paling pertama, dimana menurut masyarakat baduy
yang disebut dengan Sunda Wiwitan yaitu kata “Wiwitan” artinya dalam bahasa sunda
“ngawitan”, atau dalam bahasa Indonesia berarti “yang pertama kali memulai”
sehingga mereka mengakui bahwa mereka itu adalah masyarakat sunda yang pertama.
Selain itu mereka memiliki keteguhan atau biasa dikatakan dengan “paribasa”
yaitu “panjang teu beunang di teukteuk,
pondok teu meunang disambung” yang berarti yang
sudah ada atau aturannya itu tetap seadanya tidak ada yang boleh dikurangi
ataupun ditambah.
Dalam
kepercayaannya yang disebut sunda wiwitan mereka memiliki kebiasaan atau adat
yang suka dilakukan setiap satu tahun sekali yang disebut dengan “kawalun”
dimnana pada saat pelaksanaan kawalun semua masyarakat baduy (baik luar maupun
dalam) berkumpul di Cikeusik untuk melaksanakan upacara kawalun tersebut.
Mereka
masih percaya kepada kekuasaan nenek moyang seperti halnya mereka percaya bahwa
“Dewi Sri” atau dewi yang suka memberikan hasil-hasil pertanian mereka, dan
baik dan buruknya hasil tersebut mereka beranggapan bahwa itu tergantung dari
pemberian dewi sri dan apa saja yang mereka suguhkan kepada dewi sri tersebut.
Sepanjang
jalan yang kami lalui, kami mencari pemakaman atau “kuburan” masyarakat Baduy,
namun kami tidak menemukan satu pun yang wujud halnya seperti tempat pemakaman
pada umumnya (seperti tumpukan tanah dan batu nisan). Ternyata setelah
ditanyakan bahwa kuburan masyarakat baduy itu diratakan, dimana jika ada
masyarakat baduy yang meninggal akan dikuburkan dan diurusi selama tujuh hari,
setelah tujuh hari kuburan tersebut dibebaskan mau di jadikan lahan kebun atau
apa saja hanya di atas kuburan diberi tanda dengan ditanami pohon “Hanjuang” di
antara kepala dan kaki. Pada umumnya kuburan masyarakat baduy terletak di
sebelah barat pemukiman mereka.
Pemerintahan
Masyarakat
baduy dapat dikatakan memiliki system pemerintahan rangkap, karena mereka
mempunyai system pemerintahan nasional, dan pemerintahan system adat
Pada
system pemerintahan nasional, mereka mengakui bahwa mereka masyarakat
Indonesia, dan mereka suka mengikuti upacara peringatan HUT RI, dan mengikuti
aturan Negara Indonesia.
Pada
system adat mereka mengikuti adat istiadat yang telah ditetapkan oleh nenek
moyang mereka, dan dipercayainya. Sehingga kedua system tersebut digabungkan
dan bagaimana caranya supaya tidak berbenturan, dimana pimpinan tertinggi
masyarakat baduy dinamakan “pu’un” dan dibawah pu’un ada yang dinamakan
dengan “Jaro” atau setara dengan
kepala desa
Mata
Pencaharian
Pada
umumnya mata pencaharian utama masyarakat baduy yaitu bertani, atau bercocok
tanam dengan menanam padi, atau mereka biasa menyebutnya dengan “Ngahuma” dimana mereka menanam padi tanpa mengolah
tanah seperti mencangkul atau membajak mereka hanya menyiangi tanah yang akan
ditanami kemudian menanaminya dengan menggunakan tongkat yang diruncingkan
ujungnya atau mereka menyebutnya “aseuk” untuk
melubangi tanah yang akan ditanami benih padi.
Mereka
mengatakan “meunang tani kami mah tara
dijual, tapi keur bekel kahirupan kami salila nepika panen deui” jadi
mereka tidak menjual padi hasil pertanian mereka, melainkan dijadikan bekal
untuk kehidupan mereka sampai ke panen berikutnya.
Dikampung baduy luar dan baduy dalam terdiri 5186 kepala
penduduk dan sekitar 12 ribu penduduk, dan 68 rumah.
Sistem Perkawinan
Sistem perkawinan dikampung baduy menggunakan sistem
perkawinan endogami, yaitu dikawinkan dengan yang sesuku, sehingga orang-orang
di baduy hampir semua wajahya mempunyai kemiripan, dimana ada beberapa tahapan
dalam sistem perkawinan ini yaitu dengan menjodohkan dan tahapan-tahapannya
yang pertama orang tua laki-laki datang ke orang tua perempuan dan
memusyawarahkan perkawinan, lamaran kesatu ditandai dengan memberikan gambir
dari pihak laki-laki kepada perempuan yang, kedua tukar cincin, namun cincinnya
bukan dari emas, karena orang baduy tidak diperbolehkan untuk menggunakan
perhiasan dari emas, kemudian ketiga pihak laki-laki memberikan pelaratan dapur
kepada pihak perempuan. Di kampung baduy dalam tidak ada boleh perceraian
karena dianggap melanggar adat, dan jarak dari lamaran ke pernihkahan yaitu
selama satu tahun.
Peraturan Bagi Pendatang (Saba Budaya)
Untuk para pendatang atau sababudaya yang berkunjung ke
kampung baduy ada aturan-aturan yang harus di taati oleh para pendatang
tersebut seperti, tidak boleh melewati rumah pu’un, harus sudah sore menjelang
malam semua tidak boleh keluar harus tetap di rumah, dan tidak boleh mandi di
tempat pu’un, tempat mandi wanita di hilir sedangkan laki-laki di hulu dan
bicara tidak boleh sembarangan (sompral), tidak boleh menggunakan handpone, tidak
boleh menyalakan musik, tidak boleh berfoto-foto. Dan tidak boleh ada
masyarakat luar negeri yang datang ke kampung baduy dalam, yang hanya
diperbolehkan hanyalah masyarakat indonesia saja.
Cara Menyelesaikan Masalah
Apabila di kampung baduy terjadi suatu permasalahan yang
harus diselesaikan maka ada beberapa tahapan-tahapan yang dapat dilakukan tahap
pertama yaitu: secara kekeluargaan kemudian lingkungan tahapan lembaga. Di
masyarakat baduy ada yang dinamakan dengan rutan adat dan sumpah adat. Disini
dilihat dari berat atau ringannya masalah, dan dimana masalah tersebut dapat di
selesaikan, jika pelanggarannya diselesaikan di tingkat lembaga, maka orang
baduy yang mempunyai aturan adat sendiri, dengan ketentuan hukumyang telah
ditetapkannya, selain itu mereka juga dapat ditahan di kepolisian jika penyelesaian
masalahnya ada pada tahap lembaga, atau melibatkan hukum negara.
Beberapa Peraturan Yang Harus Dilakukan Oleh Masyarakat
Baduy
Masyarakat adat seperti baduy tentu saja memiliki aturan
tersendiri, seperti beberapa aturan yang kami ketahui tentang masyarakat baduy:
·
Tidak
boleh menggunakan alas kaki, senter, baju bebas (untuk masyarakat baduy dalam)
·
Tidak
boleh mengikuti pendidikan formal, karena dianggap melanggar adat
·
Tidak
boleh berzina, merupakan pelanggaran yang sangat berat, dan sangsinya bagi yang
melakukan akan diasingkan.
·
Tidak
boleh melakukan perkawinan dengan suku yang lain, karena dianggap melanggar
adat, dan jika dilakukan akan diasingkan atau dikeluarkan dari baduy dalam.
·
Tidak
boleh menggunakan perhiasan dari emas, tidak boleh menggunakan sabun dan bahan
kimia lainnya, karena mereka sangat melestarikan lingkungan.
·
Tidak
sembarangan orang yang dapat bertemu dengan pu’un, hanya orang-orang tertentu
yang bisa bertemu dengan pu’un
·
Dan
banyak peraturan lain yang mungkin belum kami ketahui.
0 komentar:
Post a Comment